Menyabung Nyawa dengan Jembatan Gantung
Wartawan : Syamsu Ridwan - Padang Ekspres - Editor : Elsy - 08 January 2015 15:33 WIB
Nasib Petani Gambir Taratak Sungailundang, Pessel
Warga Taratak, Sungailundang, Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan (Pessel) “harus” menyabung nyawa demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap hari mereka memanfaatkan jembatan “kereta” gantung guna mencapai ladangnya. Bagaimana kisahnya?
Derasnya air sungai tidak menghambat langkah, Vina, 33, warga Desa Baru menuju ladangnya seluas 10 hektare di Aiekaruah. Ibu tiga anak ini harus bertaruh nyawa melintasi sungai yang lebarnya kurang lebih 20 meter.
Dengan menarik seutas tali, “kereta” gantung itu berjalan menuju seberang. Sesampai di seberang sungai, Vina dengan cekatan melompat ke tanah keluar dari kereta gantung. Tak terlihat kecemasan di wajah perempuan itu.
”Awalnya, saya takut menaiki “kereta” gantung yang dikatrol ini. Apalagi hanya menggunakan seutas kawat besar, serta tali penarik sebagai alat pembantu seadanya. Ditambah, jarak “kereta” gantung dengan air sungai hanya 5 meter. Dan, batu-batu besar sungai menghadang. Justru, membuat saya tambah takut,” kata Vina, kepada Padang Ekspres usai menyeberangi sungai, kemarin (7/1).
Vina mengaku butuh waktu enam bulan menyesuaikan diri menyeberangi sungai dengan kereta gantung itu. “Habis tidak ada pilihan lain. Hanya jembatan “kereta” gantung ini sebagai sarana penyeberangan,” tutur ibu tiga anak ini.
Meski hujan turun deras, sebut Vina, dia tidak pernah takut menyeberangi sungai dengan jembatan “kereta” gantung ini. Baginya, sampai di ladang adalah keharusan. Bila tidak, asap dapur tak bakal mengepul.
”Penghasilan utama kami di sini bertumpu pada gambir dan karet. Setiap Kamis sore, kami ke ladang memetik hasil panen. Komoditi gambir ini dijual ke pengumpul dengan harga Rp 18 ribu per kilogram. Biasanya, pengumpul menemui kami di ladang langsung dalam hal proses transaksi jual beli,” sebutnya.
Di hari Kamis pula, sebut Vina, aktivitas jembatan “kereta” gantung ini meningkat. “Para pengumpul memanfaatkan jembatan “kereta” gantung tersebut. Baik menuju dan membawa hasil ladang kami ke seberang. Selanjutnya, komoditi ini dibawa ke Padang,” ungkap ibu berambut panjang ini.
Rabaa, 60, warga lainnya juga sudah terbiasa menggunakan jembatan “kereta” gantung ini. Biarpun begitu, setiap kali menggunakan jembatan “kereta” gantung ini, dia mengeluhkan rasa sakit pada tangannya karena harus menarik tali katrol untuk sampai ke seberang sungai.
”Tangan saya jadi memar usai menyeberang dengan “kereta” gantung. Itulah sebabnya, saya selalu membungkus tali katrol dengan kain sarung sebelum menarik,” ujar petani gambir ini.
Lain lagi pengakuan Burhan, 68, warga Warga Desa Baru lainnya. Biasanya, dirinya hanya menggunakan jembatan “kereta” gantung ini bila air sungai deras sehabis hujan. Sedangkan ketika sungai itu berarus kecil, dirinya biasa menyeberangi sungai itu dengan berjalan.
”Jika air sungai kecil, saya tak memanfaatkan jembatan ini. Namun, sungai tersebut sangat jarang berarus kecil, kecuali musim kemarau panjang saja,” ujar petani gambir tersebut.
Dibangun Swadaya
Vina menuturkan bahwa pembangunan jembatan “kereta” gantung tersebut, murni hasil swadaya masyarakat tiga kampung sekitar. Yakni, Taratak, Desa Baru dan Batubadanguang. “Ada 30 kepala keluarga dari tiga kampung berladang di seberang,” tuturnya.
Warga terpaksa membangun jembatan “kereta” gantung itu secara swadaya, akibat tak ada jembatan terdekat dari lokasi tersebut. Jembatan terdekat berjarak 2 km dari tempat mereka.
“Bila menggunakan jembatan itu, jelas waktu kami akan habis di perjalanan saja. Belum lagi, kondisi cuaca yang tidak bersahabat,” ujar Vina.
Sejak dua tahun lalu dibangun, menurut ibu berbaju kaus warna hijau itu, belum pernah terjadi kecelakaan saat menyeberang. “Biarpun begitu, kami berharap pemerintah bisa membangun jembatan permanen buat kami,” harapnya. (*)
SUMBER : http://www.koran.padek.co/read/detail/16272
Warga Taratak, Sungailundang, Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan (Pessel) “harus” menyabung nyawa demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setiap hari mereka memanfaatkan jembatan “kereta” gantung guna mencapai ladangnya. Bagaimana kisahnya?
Derasnya air sungai tidak menghambat langkah, Vina, 33, warga Desa Baru menuju ladangnya seluas 10 hektare di Aiekaruah. Ibu tiga anak ini harus bertaruh nyawa melintasi sungai yang lebarnya kurang lebih 20 meter.
Dengan menarik seutas tali, “kereta” gantung itu berjalan menuju seberang. Sesampai di seberang sungai, Vina dengan cekatan melompat ke tanah keluar dari kereta gantung. Tak terlihat kecemasan di wajah perempuan itu.
”Awalnya, saya takut menaiki “kereta” gantung yang dikatrol ini. Apalagi hanya menggunakan seutas kawat besar, serta tali penarik sebagai alat pembantu seadanya. Ditambah, jarak “kereta” gantung dengan air sungai hanya 5 meter. Dan, batu-batu besar sungai menghadang. Justru, membuat saya tambah takut,” kata Vina, kepada Padang Ekspres usai menyeberangi sungai, kemarin (7/1).
Vina mengaku butuh waktu enam bulan menyesuaikan diri menyeberangi sungai dengan kereta gantung itu. “Habis tidak ada pilihan lain. Hanya jembatan “kereta” gantung ini sebagai sarana penyeberangan,” tutur ibu tiga anak ini.
Meski hujan turun deras, sebut Vina, dia tidak pernah takut menyeberangi sungai dengan jembatan “kereta” gantung ini. Baginya, sampai di ladang adalah keharusan. Bila tidak, asap dapur tak bakal mengepul.
”Penghasilan utama kami di sini bertumpu pada gambir dan karet. Setiap Kamis sore, kami ke ladang memetik hasil panen. Komoditi gambir ini dijual ke pengumpul dengan harga Rp 18 ribu per kilogram. Biasanya, pengumpul menemui kami di ladang langsung dalam hal proses transaksi jual beli,” sebutnya.
Di hari Kamis pula, sebut Vina, aktivitas jembatan “kereta” gantung ini meningkat. “Para pengumpul memanfaatkan jembatan “kereta” gantung tersebut. Baik menuju dan membawa hasil ladang kami ke seberang. Selanjutnya, komoditi ini dibawa ke Padang,” ungkap ibu berambut panjang ini.
Rabaa, 60, warga lainnya juga sudah terbiasa menggunakan jembatan “kereta” gantung ini. Biarpun begitu, setiap kali menggunakan jembatan “kereta” gantung ini, dia mengeluhkan rasa sakit pada tangannya karena harus menarik tali katrol untuk sampai ke seberang sungai.
”Tangan saya jadi memar usai menyeberang dengan “kereta” gantung. Itulah sebabnya, saya selalu membungkus tali katrol dengan kain sarung sebelum menarik,” ujar petani gambir ini.
Lain lagi pengakuan Burhan, 68, warga Warga Desa Baru lainnya. Biasanya, dirinya hanya menggunakan jembatan “kereta” gantung ini bila air sungai deras sehabis hujan. Sedangkan ketika sungai itu berarus kecil, dirinya biasa menyeberangi sungai itu dengan berjalan.
”Jika air sungai kecil, saya tak memanfaatkan jembatan ini. Namun, sungai tersebut sangat jarang berarus kecil, kecuali musim kemarau panjang saja,” ujar petani gambir tersebut.
Dibangun Swadaya
Vina menuturkan bahwa pembangunan jembatan “kereta” gantung tersebut, murni hasil swadaya masyarakat tiga kampung sekitar. Yakni, Taratak, Desa Baru dan Batubadanguang. “Ada 30 kepala keluarga dari tiga kampung berladang di seberang,” tuturnya.
Warga terpaksa membangun jembatan “kereta” gantung itu secara swadaya, akibat tak ada jembatan terdekat dari lokasi tersebut. Jembatan terdekat berjarak 2 km dari tempat mereka.
“Bila menggunakan jembatan itu, jelas waktu kami akan habis di perjalanan saja. Belum lagi, kondisi cuaca yang tidak bersahabat,” ujar Vina.
Sejak dua tahun lalu dibangun, menurut ibu berbaju kaus warna hijau itu, belum pernah terjadi kecelakaan saat menyeberang. “Biarpun begitu, kami berharap pemerintah bisa membangun jembatan permanen buat kami,” harapnya. (*)
SUMBER : http://www.koran.padek.co/read/detail/16272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar