Selasa, 19 Juli 2016

JEMBATAN GANTUNG LAMNGA

Jembatan Gantung Lamnga

sumber :http://tuloblang.blogspot.co.id/2013/12/jembatan-gantung-lamnga.html

lamnga, banda aceh, wisata, jembatan, hidayahsuni
Jembatan gantung di Lamnga,
Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar
Lamnga, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, sekitar 10 km dari pusat kota Banda Aceh. Ketika menuju ke arah Krung Raya, maka kita akan melihat sebuah jembatan gantung di sebelah kiri jalan. jembatan ini digunakan oleh masyarakat sebagai jalur transportasi untuk mencari nafkah. 
lamnga, banda aceh, wisata, jembatan, hidayahsuni, sunset
Magrib di Lamnga

lamnga, banda aceh, wisata, jembatan, hidayahsuni
Jembatan penyeberangan      

jembatan kuala bubon

Menyusuri Aceh di lintasan pantai Barat – Selatan Aceh memang akan memberi sebuah pengalaman dan hal yang baru. Mengingat daerah ini terbentang sangat luas dengan berbagai kultur dan aktivitas masyarakat yang bisa ditemui. Kontur wilayah ini didominasi oleh dataran rendah yang luas dengan hutan, rawa-rawa dan pantai. Selain itu juga bisa ditemukan daerah yang berbukit dan bergunung-gunung. Seperti di Geurutee, Calang, Trans, Tapaktuan, Gunong Kapoe dan Subulussalam.
Jembatan Kuala Bubon | Foto : acehblogger.or.id

Kota-kota di pantai Barat–Selatan masih terbilang kecil, namun pasca tsunami yang melanda Aceh pada 2004 silam, kota-kota di wilayah ini mulai menampakkan perkembangan yang pesat. Hal ini tidak lepas dari makin baiknya sarana transportasi yang melayani wilayah ini, baik transportasi darat, laut maupun udara.

Ada sebuah daerah yang memiliki keunikan dan menarik untuk disinggahi, karena disini rumah-rumah warga berada didalam air, tiang-tiangnya terpancang rapi di dalam air dengan jalan-jalan papan kayu yang menghubungkan ke setiap rumah. Ada sekitar ratusan rumah yang posisinya berada di dalam air, ditambah lagi perahu-perahu yang bersandar di pelabuhan yang tidak jauh dari jajaran rumah-rumah tersebut. Disini kebanyakan warganya menggantungkan hidup pada laut dan kebanyakan penduduknya berprofesi sebagai nelayan.
 Perumahan Kuala Bubon | Foto : Khairil Kasim

Kuala Bubon, begitulah nama sebuah ibukota kecamatan yang ada di Aceh Barat. Kota kecil yang dekat dengan laut ini, pernah benar-benar hilang pada saat tsunami menerjang. Tidak seperti kebanyakan pusat pemukiman lain yang ada di Aceh, pada umumnya berada di sekitaran pantai, bantaran sungai, lembah, maupun daratan. Disini kebanyakan rumah warga berada di atas perairan muara Kuala Bubon dengan tipe rumah yang seragam.

Bagi yang penarasan dengan bagaimana keramahan penduduk di disini, pengunjung dapat langsung mengunjungi dan berinteraksi dengan masyarakat, sambil mencoba serunya menjelajahi perumahan yang lantainya berada diatas perairan. Hal ini tidak tertutup kemungkinan bagi anda, kerena masyarakat di Kuala Bubon pun juga terkenal akan keramahannya.
 Jalan yang menghubungkan perumahan | Foto : Khairil Kasim

Sebelumnya untuk dapat menuju ke Meulaboh melalui daerah ini, harus menggunakan jasa perahu yang secara swadaya dibuat warga sekitar. Namun sekarang sudah jauh berbeda, kerena sebuah jembatan yang megah telah dibangun dan merupakan salah satu jembatan terpanjang yang ada di Aceh. Dari atas jembatan, para pengunjung dapat melihat dengan leluasa perumahan penduduk yang berjejer rapi didalam air dan hutan rawa yang menghijau sepanjang tahun. Selain itu, disebelahnya dapat disaksikan pantai dan lautan luas.

Bagi yang ingin mendapatkan oleh-oleh, tidak perlu khawatir, karena di Kuala Bubon juga ada oleh-oleh khas. Daerah ini merupakan sentra perikanan Aceh Barat, maka oleh-oleh yang patut dibawa pulang adalah eungkot masen alias ikan asin. Pengunjung dapat memilih tergantung keinginan, tersedia ikan teri, tuna, udang sabu, tongkol, kerapu, cumi atau gurita, semuanya tergantung selera anda.
 Dari atas jembatan Kuala Bubon | Foto : Khairil Kasim

Mungkin terlalu berlebihan jika saya sebutkan Kuala Bubon sebagai “Venesia dari Aceh”. Namun dari daya tarik dan keunikan yang dimiliki oleh daerah ini, kurang lebih sudah dapat mewakili kota Venesia yang ada di Italia, dengan rumah-rumah yang berada di dalam air seperti di Bubon. Selain itu, mengingat tidak ada tempat lain yang serupa dengan daerah ini.[]
 
SUMBER :
 http://www.planetwisata.com/2014/07/kuala-bubon-venesia-nya-aceh.html

JEMBATAN COT CALANG

Cot Calang, Keindahan yang Tersembunyi
 
 
SUMBER ;
 http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/01/07/71650/cot-calang-keindahan-yang-tersembunyi/#.V43x9HafjSg


Potensi Wisata Terabaikan Anak-anak bermain di bawah jembatan gantung Desa Cot Calang Kecamatan Sawang Aceh Utara, Senin, 6 Januari 2014. Desa yang memiliki potensi alam yang sangat indah dan bisa menjadi salah satu pemasok PAD Aceh Utara tersebut, terabaikan begitu saja. (medanbisnis/sugito tassan)
COT Calang merupakan satu desa yang sangat terpencil, terletak di Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, atau sekitar 30 km dari arah tenggara Kota Lhokseumawe. Walau letaknya sangat terpencil, namun kawasan itu menyembunyikan kekayaan alam yang cukup menjanjikan, terutama keindahan alamnya.
Betapa tidak, desa tersebut memiliki destinasi yang sangat fenomenal terutama bagi penggemar wisata alam. Desa yang dibatasi dengan Sungai Batu tersebut memiliki berbagai keindahan alam yang sangat menarik.

Melangkah ke sana, kita akan mendengar gemericik air Sungai Lembayung dan Sungai Inong, yang membentang dengan di kanan dan kiri sungai ditumbuhi pepohonan. Suasana hutan yang masih perawan.

Potensi keindahan alam tersebut makin lengkap dengan aneka hasil buminya. Komoditas unggulan di desa berpenghuni sekitar 1.300 jiwa itu adalah kopra dan pinang, yang selama ini kerap dipasarkan ke ibukota Kecamatan Sawang. Tak ketinggalan padi, karena di sana ada sekitar 60 hektare areal pertanaman padi yang kemungkinan akan bertambah lagi dengan sedang dibukanya sekitar 300 hektare areal sawah.

Jangan abaikan buah durian, karena setiap musim Desa Cot Calang kerap menyumbangkan buah durian di pasaran Bireuen dan Lhokseumawe. Durian Cot Calang rasanya berberbeda dengan durian daerah lain, sangat lemak, sehingga terkadang setelah makan satu buah sudah tidak sanggup lagi.

Itulah sejumlah potensi yang ada di Cot Calang, sehingga sangat memungkinkan kawasan itu menjadi destinasi wisata.

Tapi nyatanya, sejauh ini belum ada pembangunan atau investasi berarti di bidang pariwisata, karena memang penduduk kawasan tersebut melarang dilakukan kegiatan wisata karena dikhawatirkan menimbulkan maksiat.

Kepala Desa Cot Calang Abdul Manaf kondisi tersebut. "Sebenarnya secara pribadi kami berharap Pemerintah Aceh Utara bisa mengajak investor untuk berinvestasi di Cot Calang, terutama pengembangan obyak wisata Sungai Inong dan Sungai Lembayung. Kedua sungai itu juga dikenal dengan Sungai Batu, karena seluruh sungai dipenuhi bebatuan dengan air mengalir di sela-sela batu, airnya sangat jernih," paparnya kepada MedanBisnis, Senin (6/1).

Padahal, tambah Abdul Manaf, jika obyek wisata dibuka di sana, bukan tidak mungkin akan menguntungkan masyarakat sekitar sungai. "Jika pengunjung datang, apa saja yang kita jual akan laku, dari mulai makanan sampai souvenir. Bisa jadi masyarakat bisa mengembangkan usaha makanan, sehingga kawasan Cot Calang dan sekitarnya terkenal dengan obyek kuliner," katanya lagi.

Tetapi begitulah, keteguhan sikap sebagian masyarakatnya yang menentang pengembangan wisata membuat Cot Calang belum bisa dijual. Sejauh ini, masyarakat yang berkunjung ke Cot Calang sebatas menikmati buah durian, sambil memandangi sungai yang mengalir indah.
"Jika tidak musim durian, tak pernah ada orang dari luar datang ke Cot Calang," ujar Manaf. ( sugito tassan )S
                                                          

JEMBATAN GANTUNG KUALA BATEE

Kurang Perhatian, Jembatan Gantung di Kuala Batee Rusak Parah

PM, BLANGPIDIE– Kondisi Jembatan Gantung yang menghubungkan jalan menuju perkebunan rakyat di Ujong Kareng, Desa Keude Baro, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sangat memprihatinkan. Pasalnya, lantai jembatan mulai lapuk termakan usia.
Selain itu, besi dinding jembatan juga sudah berkarat dan ada yang sudah patah. Sehingga, membuat badan jembatan miring sebelah dan mesti dilewati dengan hati-hati.
Fahmi, warga setempat, yang ditemui wartawan Sabtu (26/12), mengaku sangat prihatin dengan kondisi jembatan yang sudah puluhan tahun dibangun tersebut. Dikatakannya, jembatan itu perlu direnovasi kembali, agar tidak mengancam keselamatan warga atau petani yang melintas.
Menurut Fahmi, perlu hati-hati untuk melintasi jembatan itu. Di samping lantainya yang sudah lapuk, tali serta besi dinding jembatan juga sudah karatan. Petani setempat tidak bisa berbuat banyak, padahal jembatan itu merupakan satu-satunya akses tercepat menuju kebun mereka. Terutama, untuk mengangkut hasil panen para petani yang kebanyakan menanam sawit.
“Jangankan dilalui dengan roda dua, jalan kaki saja harus hati-hati,” ujar Fahmi.
Untuk itu, bersama dengan petani lainnya, Fahmi berharap, agar perhatian Pemerintah Daerah dan Provinsi Aceh, tertumpu pada perbaikan jembatan itu kembali. Apalagi, bangunan abudmen yang sudah berdiri kokoh di lokasi jembatan gantung tersebut dan tinggal menunggu kelanjutannya saja.
“Kepala jembatan memang sudah ada, akan tetapi sejak tahun 2008 silam hingga sekarang tidak dilanjutkan lagi. Kami berharap, abudmen yang sudah berdiri tersebut segera dilanjutkan,” tuturnya.
Hal senada diutarakan Sufrijal Yusuf, yang juga warga setempat. Disebutkannya,  perbaikan jembatan itu harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Selain kondisinya sudah lama terlantar, juga merupakan satu-satunya akses bagi petani sawit di wilayah itu.
“Sudah selayaknya jembatan itu dibangun baru, baik oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah setempat. Sebab, ini menyangkut hajat hidup ratusan petani sawit di wilayah tersebut,” ungkapnya.
Terkait hal itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Abdya, Rahwadi, belum bisa dikonfirmasi karena nomor yang dituju sedang tidak aktif. Sementara Kabid Bina Marga setempat juga belum menjawab sambungan telpon, meskipun nomor yang dituju dalam keadaan aktif. [PM007]

SUMBER :
 http://pikiranmerdeka.co/2015/12/26/kurang-perhatian-jembatan-gantung-di-kuala-batee-rusak-parah/

JEMBATAN RANTO PANYANG

Jembatan Ranto Panyang Memprihatinkan
Minggu, 4 November 2012 20:53 WIB
0
051112foto_8.jpg
SERAMBI/RIZWAN
Mobil melintasi jembatan antarkecamatan yang terbuat dari batang kelapa di Desa Ranto Panyang Kecamatan Woyla, Aceh Barat, Minggu (4/11).


MEULABOH - Jembatan yang terbuat dari batang kelapa di Desa Ranto Panyang, Kecamatan Woyla, Aceh Barat, kondisinya memprihatinkan. Masyarakat setempat mengharapkan jembatan yang menghubungkan Kecamatan Woyla dengan Kecamatan Woyla Barat itu dibangun permanen.

Anggota DPRK Aceh Barat, H Amri HR SE kepada Serambi, Minggu (4/11) mengatakan, kondisi jembatan itu batang kelapa sudah dirasakan puluhan tahun lalu dan belum pernah dibangunkan permenan. Padahal jalan di sana sudah beraspal, tetapi jembatan masih menggunakan pohon kepala.  “Memang sudah diusulkan untuk dibangun tahun depan dan harapan kita itu benar-benar direalisasi, sehingga jalur antarkecamatan itu tidak terganggu lagi,” ujarnya.

Anggota dewan asal Woyla ini menyampaikan, panjang jembatan 12 meter dan selama ini juga kerap menyebabkan warga terperosok serta sangat sulit dilintasi armada roda empat. Sehingga untuk sementara waktu perlu ditanggulangi secara darurat sambil menunggu dibangun permanen yang sudah dijanjikan oleh pemerintah melalui dana Otsus tahun 2013 mendatang.

“Jembatan itu sebagai urat nadi masyarakat di dua kecamatan ketika saling melintasi sehingga butuh perhatian dari Pemkab Aceh Barat sehingga selain harus dibangun tahun depan juga ditanggulangi secara darurat sehingga jalur itu tetap lancar,” katanya.(riz)
 
SUMBER :
 http://www.prohaba.co/2012/11/04/jembatan-ranto-panyang-memprihatinkan#.V43vJHafjSg

JEMBATAN DARI BATU BACAN




 
 
MIFTAKHUL FAHAMSYAH, Halmahera Selatan
 =====================================
Lokasinya di belakang perkampungan padat di Amasing Kota, Labuha, ibu kota Halmahera Selatan, yang tidak jauh dari laut Halmahera. Layaknya perkampungan nelayan, rumah-rumah di tempat itu juga saling berimpitan. Di antara rumah-rumah tersebut, terdapat gang sempit yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter.
Sepintas, tidak ada yang menarik dari lokasi tersebut. Apalagi jemuran pakaian tergantung di sana-sini. Terkesan kumuh. Tetapi, siapa sangka, di perkampungan itu terdapat jembatan "mahal" yang menghubungkan antarkampung tersebut.
Jembatan selebar 2,5 meter itu dicat kombinasi kuning-biru. Lantainya berwarna hijau. Lantai hijau itulah yang ternyata merupakan bongkahan-bongkahan batu bacan.
Sebagaimana diketahui, di dunia batu akik, batu bacan merupakan salah satu yang banyak dicari penggemar akik. Bukan hanya kolektor dalam negeri, banyak pencinta batu akik dari Tiongkok, Korea Selatan, dan Hongkong yang juga berburu batu bacan. Karena itu, tidak heran bila harganya melambung hingga puluhan juta rupiah. Batu bacan dihargai mahal lantaran batu itu dianggap "hidup".
"Saya memang sengaja meletakkan batu bacan di jembatan ini," ungkap Muhammad Abusama, penggagas sekaligus penyandang dana pembangunan jembatan yang didirikan di atas Sungai Inggot tersebut, Minggu (17/5).
"Dengan jembatan ini, saya ingin memudahkan orang melihat batu bacan kalau datang ke pulau ini," tambah pria 49 tahun tersebut.
Tidak seperti pemahaman orang selama ini, batu bacan justru tidak terdapat di Pulau Bacan. Batu mulia tersebut hanya bisa ditemukan di Pulau Kasiruta, Halmahera Selatan. Untuk mencapai Kasiruta, dibutuhkan waktu 3"4 jam dengan menggunakan kapal motor dari Pulau Bacan.
Kalau naik speedboat, perjalanan bisa lebih cepat, sekitar 2 jam. Di Kasiruta itulah terdapat Kampung Doko dan Palamea yang selama ini dikenal sebagai penghasil batu bacan dengan varian berbeda.
 Abusama menyatakan, setiap tamu yang datang ke Labuha atau Pulau Bacan selalu ingin tahu tambang batu bacan yang dikenal hingga luar negeri itu. Tapi, si tamu pasti kecewa karena di Pulau Bacan tidak terdapat batu bacan.
Untuk melihat langsung tambang batu mulia tersebut, pengunjung harus ke Pulau Kasiruta yang tidak setiap saat bisa terlaksana. Sebab, kapal motor yang akan menyeberangkan hanya beroperasi pada hari-hari tertentu.
 "Karena itu, saya bangun jembatan dari batu bacan ini di depan rumah saya ini. Biar pengunjung yang datang di Pulau Bacan tidak harus menyeberang ke Kasiruta untuk melihat batu bacan secara langsung," jelas mantan wakil ketua DPRD Halmahera Selatan tersebut.
Jembatan kecil itu dibangun pada pertengahan 2011. Momen pembongkaran jembatan kayu yang sudah rapuh oleh Kesultanan Bacan menginsipari Abusama untuk mengganti jembatan itu dengan batu bacan pada lantainya. Memang, Abusama berusaha mempertahankan konstruksinya yang tetap menggunakan kayu. Hanya lantainya yang diganti batu bacan dan batu kali di pinggirnya.
Setelah disetujui pihak kesultanan, Abusama membangun kembali jembatan itu. Hanya, lokasinya digeser sekitar 50 meter dari posisi jembatan lama atau persis di depan rumahnya.
"Bersama beberapa tetangga, saya lalu mengambil batu bacan dari Kasiruta dengan menggunakan speedboat saya. Saat itu, kami dapat membawa 38 karung," terangnya.
Abusama menegaskan, saat itu penduduk asli Pulau Bacan diperbolehkan mengambil batu bacan. Sebab, ketika itu batu bacan belum booming dan belum ada aturan khusus dari pemerintah.
 "Saat kami ambil, warna batunya masih hitam. Bongkahan batu itu lalu dipotong-potong dengan ketebalan 22 cm untuk dipasang sebagai lantai bagian tengah jembatan," paparnya.
Pembangunan jembatan tersebut berjalan lancar. Warga sekitar, baik yang tinggal di Amasing Kota maupun Amasing Kota Utara, bahu-membahu mengerjakan jembatan tersebut. Dalam waktu sekitar dua bulan, jembatan sepanjang 38 meter itu pun rampung.
"Delapan bulan setelah jembatan jadi, warna batu bacan di jembatan ini baru terlihat hijau. Itu seiring dengan gesekan kaki, sandal, dan sepatu warga yang lewat," ujarnya. Namun, jembatan itu hanya bisa dilalui pejalan kaki. Sepeda maupun sepeda motor tidak diperbolehkan melintasinya karena dikhawatirkan merusak lantai jembatan.
 "Jadi, jembatan ini khusus untuk pejalan kaki. Warga bisa memanfaatkan untuk berolahraga atau terapi karena batu kali di pinggir-pinggirnya dipasang agak menonjol," jelasnya.
 Karena manfaatnya itu, warga sekitar jembatan merasa memiliki jembatan tersebut. Mereka turut menjaga jembatan itu agar terawat dengan baik.  "Semangat itu pula yang membuat batu bacannya tetap utuh. Tidak ada yang berani mencukil. Warga ikut mengawasi jangan sampai ada orang yang mencuri," tegas anggota DPRD Halmahera Selatan tersebut.
 Memang, melihat sedang booming-nya batu bacan saat ini, orang bisa saja tergoda untuk mengambilnya dari lantai jembatan. Apalagi harganya yang selangit. Batu bacan seukuran kuku jari kelingking saja kini dihargai sekitar Rp 1 juta. Apalagi bongkahan-bongkahan batu bacan seperti yang dipasang di jembatan selebar 2,5 meter tersebut. Harganya pasti lebih mahal."
 "Mahal atau tidak, itu bergantung persepsi orang. Karena itu pula, ketika ada yang tanya berapa biaya untuk membangun jembatan ini atau berapa nilai batu bacan di jembatan ini, saya tidak pernah tahu," tegas Abusama.
 Legislator dari Partai Golkar itu menambahkan, dirinya tidak pernah menghitung uang yang sudah dikeluarkan untuk membangun dan memelihara jembatan tersebut. Dia juga tidak pernah tergelitik untuk menghitung nilai batu bacan yang terpasang di jembatan yang dibangunnya itu. Yang dipikirkan hanya cara merawat jembatan tersebut agar terus bermanfaat bagi masyarakat.
 "Saya juga ingin terus mempercantik kawasan sekitar jembatan agar tertata lebih rapi sehingga bisa menjadi destinasi wisata," ungkapnya.
 Untuk itu, Abusama berniat membebaskan lahan milik warga yang menjadi akses ke jembatan. Dengan begitu, jalan ke jembatan bisa diperlebar.   "Tentunya agar bisa lebih dilihat. Tidak seperti sekarang, akses dari Amasing Kota begitu sempit sehingga kurang terlihat," tandas keturunan Kesultanan Bacan tersebut. (*/c5/ari/jpnn)

 SUMBER:
 http://kalteng.prokal.co/read/news/19742-melihat-jembatan-kecil-nan-mahal-di-pulau-bacan-halmahera-selatan
 
 

JEMBATAN KEDIRI



Kisah Jembatan Kediri, 144 tahun kokoh membelah Sungai Brantas

Kisah Jembatan Kediri, 144 tahun kokoh membelah Sungai Brantas
Jembatan lama Kediri. ©2013 Merdeka.com

Merdeka.com - Siapa sangka pada 18 Maret 2013 nanti jembatan lama Kota Kediri berulang tahun ke-144 tahun sejak dioperasikan dan digunakan sebagai jembatan "Groote Postweg" (jalan raya) oleh Kolonial Belanda pada 18 Maret 1869.


Jembatan ini menggunakan konstruksi besi yang dibangun di atas tiang sekrup yang dipasang di dalam sungai. Jembatan di atas Kali Brantas di Kediri adalah jembatan besi yang pertama di Jawa dan dianggap sebagai adikarya zamannya oleh seorang insinyur bernama Sytze Westerbaan Muurling

Data tentang pembangunan jembatan tersebut diperoleh www.merdeka.com dari buku yang sengaja didapatkan dari Belanda dengan judul "Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek" penelusuran yang cukup lama untuk mengungkap misteri jembatan yang konon di bawahnya ada buaya putihnya tersebut.

Olivier Johanes, salah satu sumber www.merdeka.com yang ada di Belanda yang juga seorang pengamat budaya Indonesia, adalah orang yang kali pertama menyebutkan tentang sejarah panjang jembatan yang hingga kini masih berfungsi dengan baik untuk sekedar memberikan informasi bahwa jembatan tersebut dibangun di sekitar abad ke 18.

Sangat dimaklumi sebagai penghubung wilayah barat dan timur Kota Kediri jembatan ini sangat diperlukan. Sebab hanya jembatan ini lah yang sebagai penghubung wilayah Madiun dan Surabaya di kala itu.

Lalu siapa sebenarnya Sytze Westerbaan Muurling ini yang juga mendapat julukan sebagai chief engineer di massanya?

Sytze Westerban lahir di Belanda pada 29 November 1836, meninggal dunia. 17 Oktober 1876 di Batavia. Dia adalah anak dari Dr W. Muurling seorang pendeta dan juga seorang profesor teologi.

Westerbaan menerima pendidikan dasar di sekolah Austria, dan juga pendidikan menengah pertama. Tamat SMA, selanjutnya meneruskan kuliah di Huther,Groningen mengambil jurusan hukum, Namun tiga tahun dia berhenti akibat penyakit yang ia derita.

Setelah istirahat beberapa lama dan meninggalkan bangku kuliahnya, pada tahun 1854 ia berhasil ujian masuk untuk Royal Academy di Delft, dan pada tahun 1859 dia memperoleh ijazah insinyur sipil. Atas perintah Menteri koloni 4 Februari 1860 ia diangkat ke direktur pekerjaan umum di Hindia Belanda.

"Ini penemuan menarik yang harus kita informasikan kepada masyarakat, dan karena ini baru Insya Allah dalam 18 Maret nanti kita akan adakan ulang tahun ke-144 jembatan ini," kata Kepala Disbudparpora Kota Kediri Nur Muhyar pada www.merdeka.com, Sabtu (2/3)

Dalam berbagai koleksi foto "Kediri's Photograph Museum" di Ngronggo Kota Kediri, digambarkan beberapa kali jembatan ini diterjang derasnya aliran Sungai Brantas dan yang paling parah adalah pada tahun 1954, pagar-pagarnya robon, namun karena konstruksinya yang luar biasa menjadikan jembatan ini tak bergeser sedikitpun.

Sungai Brantas sendiri adalah sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa setelah Bengawan Solo. Panjang Sungai Brantas sendiri kurang lebih 320 km.

Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu) yang berasal dari simpanan air Gunung Arjuno, lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung , Kediri, Jombang dan Mojokerto.

Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua menjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo). Kali Brantas mempunyai DAS seluas 11.800 dari luas Provinsi Jatim. Panjang sungai utama 320 km mengalir melingkari sebuah gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung Kelud Kediri.

  SUMBER :
  MERDEKA.COM

JALAN JEMBATAN TERPANJANG

JALAN JEMBATAN KAYU TERPANJANG dI INDONESIA

DSCN2575

Disbudpar Kab. Kutai Kartanegara bekerjasama dengan TransTV mencoba menelusuri sisi keunikan Kecamatan Muara Muntai Kab.Kutai kartanegara (19/12). Jalan Jembatan Kayu terpanjang di Indonesia terbuat dari kayu ulin, dengan lebar mulai dari 1 mtr hingga 6 mtr.
Pada awalnya terbuat dari bambu (1959), kemudian tahun 1980 diganti dari kayu ulin, alasannya karena kayu ulin sangat kuat. Ide pembuatan jembatan ini karena daerah Muara Muntai sering dilanda banjir. Sampai sekarang jembatan kayu sudah ada yang berumur 30 tahun, ada sebagian yang sudah direhab karena rusak, pakunya longgar karena banyaknya kendaraan roda dua yang lewat.
Sopan Sopian, S.Pd (Kepala Desa) mengatakan, perawatan dilakukan secara swadaya, dengan menambal atau mengganti kayu yang rusak. Masyarakat setempat melakukannya secara gotong royong dan kayu ulinnnya disuplai dari Kutai Barat (Resak dan Tanjung Issuy), karena disekitar Kecamatan Muara Muntai tidak ada lagi kayunya.
Ada rencana dari Pemkab ingin mengecor jembatan ini, alasannya karena jembatannya bising bila dilalui kendaraan roda dua, dan pakunya longgar-longgar,kemudian kayu ulin susah dicari sekarang. Tapi rencana itu berlaku hanya disekitar pasar saja atau dekat pelabuhan. Ini dilakukan untuk mempertahankan keunikan yang dimiliki masyarakat setempat, ujarnya.
Juga dijelaskan, jalan jembatannya ada yang baru disambung dengan yang lama, lebih tinggi dan lebar, hingga dua jalur, serta perawatan dilakukan secara rutin. Jembatan ini merupakan kebanggan kami masyarakat disini.
Ajaklah keluarga Anda berwisata ke Muara Muntai. Masih banyak lagi yang dapat Anda dilihat disini. Oh ya…ada masakan khas daerahnya, seperti, ikan salai (suah), sambal kueni (bergetar) dan masih banyak lagi.
Disbudpar Kab. Kutai Kartanegara menawarkan Anda paket-paket wisata, kami siap mendampingi Anda.
Mari BERWISATA minimal sekali dalam setahun, JELAJAHI Negerimu, CINTAI Negerimu.
Jangan DIAM di rumah aja……bangun Brooo…

SUMBER:
http://www.tuanisianipar.blogspot.com http://www.pariwisatakukar.wordpress.com