Minggu, 07 Desember 2014

JEMBATAN PETEKAN

Jembatan Petekan, Surabaya

 
 
 
 
 
 
Rate This

Banyak sudah keberhasilan pembangunan dan penghargaan yang diraih kota tercinta Surabaya ini. Namun dibalik itu semua, ternyata masih kurang menghargai sejarah kota, sebuah pemandangan fisik yang kurang mengenakan mata.  Adalah jembatan Petekan yang membentang di atas Kalimas. Jembatan yang dibangun pada masa koloni Belanda itu, sudah bertahun-tahun tidak lagi berfungsi. Bahkan, kini nasib kerangka jembatan dari besi baja itu dibiarkan rusak. Konon keberadaan jembatan Petekan memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi.
Meskipun, sebelumnya sempat tersebar berita, badan jembatan akan dibongkar karena tak lagi berfungsi. Tapi, para pecinta sejarah bersikukuh mempertahankannya. Sayangnya, bangunan jembatan yang dulunya bisa dipetek (distel) membuka dan menutup sendiri itu tidak dirawat. Akibatnya, jadi pemandangan onggokan besi rongsokan. Besi tua. Pondasi jembatan sudah banyak yang keropos, hanya tinggal tiang penyanggah dan kerangka layang-layang masih bertahan. Sumli, salah seorang tokoh masyarakat di Kalimas Baru merasa bahwa kondisi jembatan Petekan itu sengaja dibiarkan sampai karatan (berkarat). Jika, pemerintah daerah (Pemda) mau melestarikan jembatan Petekan, sebaiknya kondisi jembatan itu bisa dihidupkan, seperti semula (bisa dipetek).
Sebenarnya, ia tidak setuju, jika jembatan kuno itu dirobohkan. Tetapi jikalau nasibnya dibiarkan begitu saja berarti sama dengan  menelantarkan jembatan bersejarah. “Jika sudah tak bisa berfungsi, sebaiknya jembatan Petekan bisa dipercantik lagi. Kiat ini tentu akan mengundang daya tarik wisatawan,” saran Sumli yang juga aktif di takmir masjid setempat. Jembatan Petekan itu sudah cukup lama tidak dilalui kendaraan. Sebagai penggantinya, kini telah dibangun dua jembatan kembar yang berada di sebelah kanan dan kiri jembatan Petekan. Dengan tidak berfungsinya jembatan Petekan, maka sudah dapat dipastikan bangunan jembatan itu akan tetap menjadi pemandangan yang memilukan. Malahan, kini kondisi di bawah jembatan Petekan menjadi kumuh. Banyak warung makanan bermunculan, sehingga terkesan jorok dan kotor.
Nama jembatan Petekan yang berada di wilayah Surabaya Utara sudah tidak asing lagi. Entahlah, sampai kapan, nasib jembatan gantung itu terkatung-katung. Bagi warga dari luar Surabaya banyak yang bertanya-tanya, tentang arti nama jembatan itu. Namun setelah tahu bahwa arti dari nama Petekan adalah bisa dipetek (distel). Maka, barulah para warga luar Surabaya, menyambutnya dengan senyum, sambil mangut-mangut. Jembatan itu dulunya memang bisa dipetek, kapal-kapal kecil bisa menyusuri sungai kalimas. Tapi sekarang malah matek (mati),” ungkap sesepuh warga setempat. (ichsan pribadi)
Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:   MEMORANDUM, Bekerja dan Membela Tanah Air, Senin, 15 Mei 1997 . hlm.11

JEMBATAN JAVASCHE BANK

  • Jembatan Javasche Bank (DKI Jakarta)







 





Di ujung selatan daerah Kali Besar, Jakarta terdapat sebuah jembatan, untuk kebutuhan orang-orang yang bermaksud ke rumah sakit (hospitaalsbrug). Setelah rumah sakit dipindahkan ke Weltevreden, lahan bekas rumah sakit itu dimanfaatkan oleh Javasche Bank, sehingga jembatan itu dikenal sebagai Jembatan Javasche Bank. Jembatan Pasar Ayam maupun Jembatan Javasche Bank itu bukan jembatan yang paling tua di Betawi. Yang tertua adalah Jembatan Inggris, yang ketika tentara Mataram menyerang Betawi pada tahun 1628, jembatan itu harus dihancurkan. Baru pada tahun 1655 dibangun jembatan baru melintasi terusan kanal yang bernama Amsterdamsche-gracht. Itulah jembatan yang disebut Hoenderpasarbrug.
Jembatan itu bukan satu-satunya sarana untuk menyeberangi kanal. Ketika para pembesar kumpeni masih tinggal di dalam kastil, selain jembatan untuk penyeberangan itu, di tempat-tempat yang cukup jauh dari jembatan ditempatkan beberapa buah sampan memakai tenda. Sampan-sampan itu dipakai untuk mengangkut ’nyonya-nyonya besar’ yang biasanya malas berjalan itu ke seberang kanal. ’Nyonya-nyonya besar’ itu jelas sulit berjalan, karena gaun-gaun yang mereka kenakan model kurungan ayam. Setiap mereka berjalan, harus ada budak-budak yang memegangi gaun itu. Repotnya lagi, selain budak pemegang gaun, ada pula budak yang khusus memayungi sang nyonya besar, karena matahari Betawi sangat terik. Si nyonya besar sendiri tidak henti-hentinya mengipas-ngipaskan kipas bulu burung merak.

JEMBATAN CIN CIN


Jembatan Cincin yang Bersejarah, Eksotis dan Terlupakan


Jembatan Cincin yang Bersejarah, Eksotis dan Terlupakan
Jatinangorku.com – Bagi sebagian orang, kawasan pendidikan Jatinangor, kabupaten Sumedang mungkin hanya terkenal dengan beberapa perguruan tingginya. Namun, apabila kita bertanya kepada orang-orang Bandung yang sudah berumur, maka yang terlintas di benak mereka adalah perkebunan karet dan teh. Memang, Jatinangor yang kita kenal dulunya adalah daerah perkebunan yang luas. Jauh sebelum perguruan tinggi seperti Ikopin, Unwim ataupun Unpad berdiri, daerah ini adalah salah satu penghasil karet dan teh yang cukup besar untuk Belanda.
Jatinangor adalah kawasan yang bisa dibilang banyak memiliki situs bersejarah. Jembatan Cincin salah satunya. Jembatan ini pada awalnya dibangun oleh Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf,sebuah perusahaan kereta api milik Belanda pada tahun 1918. Pada saat itu, jembatan ini berfungsi sebagai salah satu jalur kereta api yang menghubungkan daerah Rancaekek dan Tanjungsari. Pada masa itu, kereta ini menjadi penunjang lancarnya perkebunan karet di Jawa Barat.
“Jembatan Cincin mulai dibangun sejak tahun 1918, hingga 1942 sudah tidak ada lagi kereta yang lewat,” ujar Mulyana, salah satu “tetua” yang sudah hampir sembilan puluh tahun tinggal di dekat jembatan cincin. Yang menjadi catatan penting ialah, tanah di Jembatan ini bukanlah milik Belanda, melainkan diklaim secara paksa karena pada saat itu, Indonesia masih daerah jajahan Belanda. Warga setempat pada waktu itu tidak bisa berbuat banyak karena takut akan dibunuh. Ia juga menambahkan, akhirnya, pembangunan Jembatan Cincin diperbolehkan oleh warga sekitar, dengan syarat, tidak mengganggu komplek pemakaman yang ada di bawahnya. Setelah mencapai kesepakatan, Jembatan Cincin pun dibangun.
Sesudah dibangun, rel kereta api ini menjadi jalan penghubung bagi Belanda untuk mengantarkan hasil perkebunan dari daerah Jatinangor ke Bandung, jembatan ini juga lah yang menjadi akses jalan terbaik dari daerah Tanjungsari ke Rancaekek. Pada awalnya memang kereta hanya digunakan untuk hasil perkebunan, namun, menurut Mulyana, kereta ini akhirnya digunakan juga sebagai transportasi bagi kedua warga negara.
Saat bangsa Jepang datang dan mulai menduduki Indonesia pada 1942, Jembatan Cincin pun diambil alih. Tiang dan besi tua yang menjadi rel di jembatan ini dibongkar dan dibawa paksa oleh orang Jepang. “Mungkin karena menurut Jepang sudah tidak terpakai lagi, maka seluruh besi yang ada di ambil sama mereka,” tambah Mulyana. Semenjak itulah, kegiatan “per-kereta api-an” di Jembatan Cincin terhenti.

Jembatan Cincin bisa dibilang memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi, terutama di kalangan masyarakat Jawa Barat. Ironisnya, tempat yang bisa dibilang bersejarah ini masih banyak yang belum mengetahui. Bahkan, oleh warga Sumedang sekalipun. Menurut salah satu warga Kota Sumedang yang tidak mau disebut namanya, setelah tahun ke-11 tinggal di Sumedang, ia baru melihat secara langsung situs bernama “Jembatan Cincin” ini. “Denger, sih, pernah. Tapi, kalo ngeliat, ya, semenjak kuliah di Jatinangor aja,” tuturnya.
Keadaan Jembatan Cincin saat ini kurang terawat. Hal ini terlihat dari rusaknya keadaan Jembatan. Sudah banyak semen yang terkelupas dan jalanan di atasnya tidak lagi “mulus”. “Sudah banyak rencana perbaikan, tapi, sampai sekarang belum terwujud,” ujar Ani, salah satu penduduk sekitar Jembatan Cincin. Akhir-akhir ini, Jembatan Cincin dipakai untuk aktifitas warga dan mahasiswa yang kost di sekitarnya, karena, Jembatan ini menghubungkan daerah Cikuda dengan Universitas Padjadjaran (Unpad).

Dinilai dari pemandangan seputar Jembatan, bisa dibilang sangat indah. Anda akan melihat komplek pemakaman, sawah dan pemandangan daerah Jatinangor dari atas Jembatan ini. Anda juga bisa melihat Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad, dan fakultas lainnya. Apabila Anda melihat dari jauh, Anda dapat merasakan eksotisme jembatan yang sudah tua ini. Berpadu dengan pemandangan sekitar yang indah. Sayangnya, Jembatan ini dirasa kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Penasaran dengan Jembatan Cincin? Datang saja ke Jalan Jembatan Cincin, Desa Hegarmanah, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Kalau bukan kita yang melindungi, siapa lagi?

                                                                                     Sumber : http://citizenmagz.com

JEMBATAN RATAPAN IBU

Jembatan Ratapan Ibu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Jembatan Ratapan Ibu
Melintasi Batang Agam
Daerah Kota Payakumbuh
Panjang total 40 m (131 ft 3 in)
Mulai dibangun 1818
Jembatan Ratapan Ibu adalah sebuah jembatan yang terletak di kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Jembatan ini dibangun tahun 1818 dan memiliki panjang 40 meter dengan arsitektur kuno berupa susunan batu merah setengah lingkaran yang direkat dengan kapur dan semen tanpa menggunakan tulang besi. Jembatan ini melintasi Batang Agam, menghubungkan Pasar Payakumbuh dan nagari Aie Tabik.

Tempat bersejarah

Jembatan tersebut menjadi terkenal dan bersejarah karena menjadi tempat eksekusi para pejuang kemerdekaan oleh tentara Belanda pada zaman penjajahan. Dari cacatan sejarah, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang tertangkap Belanda digiring menuju jembatan tersebut, lalu disuruh berbaris di bibir jembatan. Setelah itu, mereka dieksekusi dengan tembakan senjata api, sehingga tubuh mereka langsung jatuh ke Batang Agam dan dihanyutkan arus deras. Masyarakat, terutama kaum wanita, setiap menyaksikan eksekusi itu hanya bisa menangis melihat para pejuang bangsa ditembaki, lalu mati dan jasadnya jatuh ke sungai serta dihanyutkan air. Untuk mengenang peristiwa itu, maka jembatan tersebut diberi nama "Ratapan Ibu". Disana juga dibangun sebuah patung wanita paruh baya sedang menangis menyaksikan kekejaman tentara Belanda di areal jembatan tersebut.

Sabtu, 06 Desember 2014

JEMBATAN BARITO

Jembatan Barito

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

 

 Jembatan Barito adalah jembatan yang melintang di atas Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Secara administratif, jembatan ini berada di wilayah Kabupaten Barito Kuala dan berjarak 15 km dari Kota Banjarmasin.
Jembatan ini memiliki panjang 1.082 meter yang melintasi Sungai Barito selebar 800 meter dan Pulau Bakut selebar 200 meter. Jembatan ini terdiri dari jembatan utama sepanjang 902 meter, dan jembatan pendekat 180 meter, dengan lebar 10,37 meter. Merupakan akses jalan Trans Kalimantan dari Banjarmasin menuju ke Palangkaraya dan sebaliknya. Ketinggian ruang bebas jembatan utama 15 - 18 meter, sehingga bisa digunakan untuk lalu lintas perairan seperti Kapal Tongkang.
Jembatan Barito sering disebut pula jembatan Pulau Bakut, sesuai nama delta (pulau kecil) yang ada di bawahnya atau jembatan pulau Bakut, sesuai nama daerah tepi barat sungai Barito (sungai Banjar).
Jembatan ini pertama kali diresmikan pada tanggal 24 April 1997 oleh Presiden Soeharto. Jembatan, yang tercatat dalam rekor Muri sebagai jembatan gantung terpanjang di Indonesia ini, jembatan yang menghubungkan jalan trans Kalimantan. Jalan ini merupakan jalan poros yang menghubungkan dua provinsi bertetangga yaitu provinsi Kalimantan Tengah, sebelum ada jembata ini masyarakat sangat mengandalkan jalur transportasi seperti sungai menggunakan alat transpor seperti boat atau kapal bermotor untuk menuju ke Banajarmasin atau sebaliknya .

JEMBATAN BARELANG

Jembatan Barelang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Barelang.jpg

Jembatan ke-1 Pulau Batam - Pulau Tonton

Jembatan Barelang yang menghubungkan pulau Batam dan pulau Rempang, serta pulau Galang
Jembatan Barelang (singkatan dari BAtam, REmpang, dan gaLANG) adalah nama jembatan yang menghubungkan pulau-pulau yaitu Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru. Masyarakat setempat menyebutnya "Jembatan Barelang", namun ada juga yang menyebutnya "Jembatan Habibie", karena beliau yang memprakarsai pembangunan jembatan itu untuk menfasilitasi ketiga pulau tersebut yang dirancang untuk dikembangkan menjadi wilayah industri di Kepulauan Riau. Ketiga pulau itu sekarang termasuk Provinsi Kepulauan Riau.
Jembatan Barelang telah menjadi ikon Kota Batam, bahkan telah populer sebagai landmark-nya Pulau Batam. Apabila Kota Jakarta identik dengan Monas maka orang akan mengidentikan Kota Batam dengan Jembatan Barelang (Barelang Bridge).
Nama Jembatan Barelang yang di berikan oleh masyarakat setempat ternyata lebih popular ketimbang nama aslinya yaitu Jembatan Fisabilillah. Nama “Barelang” oleh masyarakat diambil dari nama-nama pulau yang dihubungkan oleh jembatan tersebut; Batam, Rempang, dan Galang. Jembatan Barelang memiliki nama lain, Jembatan Habibie atau Jembatan satu.
Jembatan Barelang merupakan pilot project berteknologi tinggi yang melibatkan ratusan insinyur Indonesia tanpa campur tangan dari tenaga ahli luar negeri. Dibangun untuk memperluas wilayah kerja Otorita Batam (OB) sebagai regulator daerah industri Pulau Batam. Pembangun jembatan Trans Barelang telah menyedot anggaran Otorita Batam (OB) sebesar Rp 400 Miliar yang dibangun dalam masa enam tahun (1992 – 1998). Enam buah jembatan megah ini merupakan proyek vital sebagai penghubung jalur Trans Barelang yang membentang sepanjang 54 kilometer.
Jembatan Barelang terdiri dari enam buah jembatan.Keenam buah jembatan Barelang tersebut terdiri dari:
  1. Jembatan Tengku Fisabilillah (jembatan I), jembatan yang terbesar
  2. Jembatan Nara Singa (jembatan II)
  3. Jembatan Raja Ali Haji (jembatan III)
  4. Jembatan Sultan Zainal Abidin (jembatan IV)
  5. Jembatan Tuanku Tambusai (jembatan V)
  6. Jembatan Raja Kecik (jembatan VI)[1].

Jembatan Barelang Terkini

Terlepas dari orientasi awal pembangunan Jembatan Barelang, kini Jembatan Barelang khususnya jembatan I telah dijadikan salah satu destinasi wisata bagi masyarakat tempatan, wisatawan lokal maupun internasional. Lokasi yang strategis mampu ”menghipnotis” pengunjung untuk berlama-lama berada diatas Jembatan Barelang I.
Jembatan yang bertipe “cable stayed bridge” ini membentang sepanjang 642 meter menghubungkan Pulau Batam dengan Pulau Tonton. Pada ketinggian 38 meter dari permukaan laut, para wisatawan bisa menikmati pemandangan di sekitar Jembatan Barelang I. Hamparan pulau yang bertepian laut nan biru akan memunculkan rasa takjub dan kolaborasi angin darat dengan angin lautnya bisa membuat pengunjung terlena.
6 buah jembatan Barelang yang menghubungkan tiga pulau besar: Batam, Rempang dan Galang

JEMBATAN AMPERA

Jembatan Pasupati

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jembatan Pasupati
Daerah Jawa Barat
Panjang total 2,8 km
Lebar 30-60 m
Jembatan Pasupati atau Jalan Layang Pasupati adalah sebuah jembatan yang menghubungkan bagian utara dan timur Kota Bandung melewati lembah Cikapundung. Panjangnya 2,8 km dan lebarnya 30-60 m.[1] Sebagian jalan itu dibangun di atas Jalan Pasteur, adalah jalan lama dengan pohon palm raja disebelah kanan dan kirinya yang menjadi ciri kota Bandung. [2] Jalan Layang Pasupati juga menjadi salah satu ikon Kota Bandung. Oleh karena itu, pada malam hari bagian tengah Jembatan Pasupati diterangi lampu sorot warna-warni.[3] Jalan layang ini membuat arus lalu lintas dari wilayah sekitar Jabodetabek ke Bandung menjadi lebih mudah. Di bawah Jembatan Pasupati terdapat taman yang bernama Taman Pasupati.

Sejarah

Panorama di atas jalan layang Pasupati
Jalan layang (flyover) Pasupati merupakan nama jalan layang di daerah Bandung. Nama Pasupati ini pengganti dari nama sebelumnya Paspati yang dalam artian Sunda “pas mati”. Pasupati merupakan singkatan dari Jalan Pasteur dan Jalan Surapati.[4] Jalan layang Pasupati secara historis sudah terancang oleh arsitek Ir. Karsten. Arsitek wilayah ini pada tahun 1920-an sudah menyimpan dasar-dasar rancangan kota Bandung. Sampai ke sepuluh tahun selanjutnya, dari tahun 1931, rancangan itu masih tetap jadi obsesi sebagaimana program Autostrada yang menghubungkan missing link Jalan Pasteur (Pasteurweg) dan Jalan Ir. H. Djuanda (Dagoweg).[5] Pembangunan jembatan ini dibiayai melalu hibah dana dari pemerintah Kuwait. Setelah sempat beberapa tahun tidak terlaksana, akhirnya pada tanggal 26 Juni 2005 uji coba pertama sudah dilakukan.

Struktur

Jalan layang Pasupati merupakan jalan layang pertama di Indonesia yang memanfaatkan teknologi anti gempa. Perangkatnya yang disebut lock up device (LUD) dibuat di Perancis, sebuanya jumlahnya 76 buah. Jembatan ini secara keseluruhan menggunakan 663 unit segmen yang ditopang oleh 46 tiang. Setiap segmen beratnya 80 ton sampai ke 140 ton. Yang menarik, jembatan ini dilengkapi dengan jembatan cable stayed sepanjang 161 meter yang melintang di atas lembah Cikapundung. Cable stayed merupakan jembatan tanpa kaki. Kekuatan jembatan itu ditopang oleh 19 kabel baja yang terdiri dari 10 kabel sebelah barat dan 9 kabel sebelah timur. Setiap kabel isinya 91 kabel kecil yang masing-masing kabel kecil itu terdiri dari tujuh kabel yang lebih kecil lagi. Sepuluh kabel yang dipasang disebelah barat dibuat berpasangan. [5]

JEMBATAN SURAMADU

Jembatan Nasional Suramadu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nama resmi Jembatan Nasional Suramadu
Mengangkut 8 lajur
Melintasi Selat Madura
Daerah Jawa Timur
Pengelola PT Jasa Marga (sementara)
Desain Cable stayed
Panjang total 5438 m (17841 ft 2 in)
Lebar 30 m (98 kaki)
Tinggi 146 m (479 kaki)
Rentang terpanjang 434 m (1,424 kaki)
Jumlah rentangan 2 (jembatan utama)
6 (keseluruhan)
Ruang vertikal 35 m (115 kaki)
Mulai dibangun 20 Agustus 2003
Dibuka 10 Juni 2009
Tol Rp. 30.000,00 (roda 4)
Rp. 3.000,00 (roda 2)[1]
Koordinat 7°11′3″LU 112°46′48″BTKoordinat: 7°11′3″LU 112°46′48″BT

Jembatan Nasional Suramadu
Jembatan Nasional Suramadu adalah jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa (di Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan, tepatnya timur Kamal), Indonesia. Dengan panjang 5.438 m, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge).
Jembatan ini diresmikan awal pembangunannya oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 20 Agustus 2003 dan diresmikan pembukaannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009[2]. Pembangunan jembatan ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, meliputi bidang infrastruktur dan ekonomi di Madura, yang relatif tertinggal dibandingkan kawasan lain di Jawa Timur. Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini adalah 4,5 triliun rupiah.
Pembuatan jembatan ini dilakukan dari tiga sisi, baik sisi Bangkalan maupun sisi Surabaya. Sementara itu, secara bersamaan juga dilakukan pembangunan bentang tengah yang terdiri dari main bridge dan approach bridge.

Konstruksi

Jembatan Suramadu pada dasarnya merupakan gabungan dari tiga jenis jembatan dengan panjang keseluruhan sepanjang 5.438 meter dengan lebar kurang lebih 30 meter. Jembatan ini menyediakan empat lajur dua arah selebar 3,5 meter dengan dua lajur darurat selebar 2,75 meter. Jembatan ini juga menyediakan lajur khusus bagi pengendara sepeda motor disetiap sisi luar jembatan.

Jalan layang

Jalan layang atau Causeway dibangun untuk menghubungkan konstruksi jembatan dengan jalan darat melalui perairan dangkal di kedua sisi. Jalan layang ini terdiri dari 36 bentang sepanjang 1.458 meter pada sisi Surabaya dan 45 bentang sepanjang 1.818 meter pada sisi Madura.
Jalan layang ini menggunakan konstruksi penyangga PCI dengan panjang 40 meter tiap bentang yang disangga pondasi pipa baja berdiameter 60 cm.

Jembatan penghubung

Jembatan penghubung atau approach bridge menghubungkan jembatan utama dengan jalan layang. Jembatan terdiri dari dua bagian dengan panjang masing-masing 672 meter.
Jembatan ini menggunakan konstruksi penyangga beton kotak sepanjang 80 meter tiap bentang dengan 7 bentang tiap sisi yang ditopang pondasi penopang berdiameter 180 cm.

Jembatan utama

Jembatan utama atau main bridge terdiri dari tiga bagian yaitu dua bentang samping sepanjang 192 meter dan satu bentang utama sepanjang 434 meter.
Jembatan utama menggunakan konstruksi cable stayed yang ditopang oleh menara kembar setinggi 140 meter. Lantai jembatan menggunakan konstruksi komposit setebal 2,4 meter.
Untuk mengakomodasi pelayaran kapal laut yang melintasi Selat Madura, jembatan ini memberikan ruang bebas setinggi 35 meter dari permukaan laut. Pada bagian inilah yang menyebabkan pembangunannya menjadi sulit dan terhambat, dan juga menyebabkan biaya pembangunannya membengkak.

Dampak ekonomi dan kependudukan

Dengan adanya pembangunan jembatan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan pemerataan pendapatan di wilayah surabaya ke wilayah madura, begitu pula dengan kependudukan, mengingat wilayah surabaya yang semakin padat dengan penduduk yang melakukan urbanisasi yang sebagian besar berasal dari wilayah madura, pemerintah berharap dengan adanya pemerataan ekonomi ini dapat menekan laju urbanisasi tersebut.

jembatan cinta KALIBELANG


Jembatan KA berkaki “pengantin”

Ditulis 23 Jul 2009 - 22:09 oleh Sista BNC


Anda mungkin sering berpergian ke Jakarta dengan kereta api, baik dari Purwokerto, Kroya, Cilacap, Kebumen atau Jogja/Solo. Pada sepanjang perjalanan ke Jakarta melalui rute Purwokerto-Cirebon kita melewati banyak jembatan. Ya, terutama jalur Purwokerto-Prupuk karena daerah berbukit dan bertebing, dan banyak sungai yang bermata air di kaki Gunung Slamet.
12 di antara 22 tiang
Karena berada di dalam gerbong, tentulah kita tidak pernah terpikir seperti apa jembatan-jembatan yang dilewati kereta api tersebut. Kalaupun terpikir, pastilah gambaran jembatan kereta api adalah berupa bangunan tiang-tiang batu beton yang berjajar menyangga rel KA di atasnya. Begitulah kebanyakan jembatan KA.
Tapi ada satu jembatan yang sangat unik, lain daripada yang lain. Bahkan mungkin hanya satu di dunia! Bagi peminat bangunan sipil jembatan mestinya jembatan ini menarik untuk kajian. Keunikan pertama adalah tiang penyangga yang berupa beton cor-coran berbentuk seperti tangga tegak. Keunikan kedua, adanya jembatan kayu di bawah beton yang menyangga lintasan rel KA, yang digunakan untuk lewat orang, terbuat dari kayu. Ketiga, adanya dua tiang yang menempel satu sama lain, berjarak sekitar 20 cm (dari atas ke bawah), yang disebut penduduk sekitar sebagai ’saka pengantin’ (mungkin karena berdiri berjajar).
Jembatan ini dinamakan Jembatan Kali Belang, merujuk pada nama sungai kecil yang dilewati yaitu Kali Belang. Masyarakat sekitar menyebutnya brug kali Belang. Berada pada Km 3 dari Stasiun Bumiayu arah stasiun Linggapura/Prupuk, tepatnya di Desa Galuhtimur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, jembatan ini merupakan salah satu jembatan monumental peninggalan Belanda.
Jumlah tiang 24, dimana tiang ke-12 dan ke-13 berjejer tidak menempel dengan jarak sekitar 20 cm. Jadi secara struktur beton, jembatan ini tidak ”nyambung”. Mungkin karena jaraknya yang panjang hingga lebih dari 100 meter, sehingga untuk menghindari risiko guncangan dan tekanan angin, juga gempa, jembatan ini dibuat ’terpisah’. Yang ”menyambung” jembatan ini adalah rel KA.
Jembatan kayu
Mengapa ada jembatan kayu di bawahnya? Jembatan kayu yang digunakan untuk mowot (menyeberang) penduduk sekitar kalau hendak pergi ke ladang atau berkunjung ke dusun lain ini dibangun belakangan (ada yang mengatakan tahun 1927).
Pemerintah kolonial Belanda merasa perlu membangun powotan ini karena kalau ada orang menyeberang melalui lintasan KA tentu berisiko, sekalipun ada dam (pos) pemberhentian untuk orang yang lewat di atas rel.
Sampai sekarang powotan yang terbuat dari kayu ini masih difungsikan, hanya saja ada beberapa bagian pegangan yang sudah keropos.
Menilik kokohnya bangunan hingga saat ini, bisa dipastikan pembangunan ini memerlukan perencanaan yang sangat serius, pemilihan bahan prima, dan akhirnya menjadi salah satu karya bangunan sipil berkualitas era penjajahan yang bisa disaksikan hingga saat ini.
Lantas mengapa mengapa jembatan yang dibangun saat Indonesia sudah merdeka banyak yang gampang runtuh atau putus? Wallahu’alam …. (banyumasnews.com/phd)
Rel yang melintas di atas jembatan.
Rel yang melintas di atas jembatan.

JEMBATAN MERAH

Jembatan Merah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jembatan Merah
Jembatan Merah (ca.1880-1900)
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Keresidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.