Jembatan KA berkaki “pengantin”
Anda mungkin sering berpergian ke
Jakarta dengan kereta api, baik dari Purwokerto, Kroya, Cilacap, Kebumen
atau Jogja/Solo. Pada sepanjang perjalanan ke Jakarta melalui rute
Purwokerto-Cirebon kita melewati banyak jembatan. Ya, terutama jalur
Purwokerto-Prupuk karena daerah berbukit dan bertebing, dan banyak
sungai yang bermata air di kaki Gunung Slamet.
Karena berada di dalam gerbong, tentulah kita tidak pernah terpikir seperti apa jembatan-jembatan yang dilewati kereta api tersebut. Kalaupun terpikir, pastilah gambaran jembatan kereta api adalah berupa bangunan tiang-tiang batu beton yang berjajar menyangga rel KA di atasnya. Begitulah kebanyakan jembatan KA.
Tapi ada satu jembatan yang sangat unik, lain daripada yang lain. Bahkan mungkin hanya satu di dunia! Bagi peminat bangunan sipil jembatan mestinya jembatan ini menarik untuk kajian. Keunikan pertama adalah tiang penyangga yang berupa beton cor-coran berbentuk seperti tangga tegak. Keunikan kedua, adanya jembatan kayu di bawah beton yang menyangga lintasan rel KA, yang digunakan untuk lewat orang, terbuat dari kayu. Ketiga, adanya dua tiang yang menempel satu sama lain, berjarak sekitar 20 cm (dari atas ke bawah), yang disebut penduduk sekitar sebagai ’saka pengantin’ (mungkin karena berdiri berjajar).
Jembatan ini dinamakan Jembatan Kali Belang, merujuk pada nama sungai kecil yang dilewati yaitu Kali Belang. Masyarakat sekitar menyebutnya brug kali Belang. Berada pada Km 3 dari Stasiun Bumiayu arah stasiun Linggapura/Prupuk, tepatnya di Desa Galuhtimur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, jembatan ini merupakan salah satu jembatan monumental peninggalan Belanda.
Jumlah tiang 24, dimana tiang ke-12 dan ke-13 berjejer tidak menempel dengan jarak sekitar 20 cm. Jadi secara struktur beton, jembatan ini tidak ”nyambung”. Mungkin karena jaraknya yang panjang hingga lebih dari 100 meter, sehingga untuk menghindari risiko guncangan dan tekanan angin, juga gempa, jembatan ini dibuat ’terpisah’. Yang ”menyambung” jembatan ini adalah rel KA.
Karena berada di dalam gerbong, tentulah kita tidak pernah terpikir seperti apa jembatan-jembatan yang dilewati kereta api tersebut. Kalaupun terpikir, pastilah gambaran jembatan kereta api adalah berupa bangunan tiang-tiang batu beton yang berjajar menyangga rel KA di atasnya. Begitulah kebanyakan jembatan KA.
Tapi ada satu jembatan yang sangat unik, lain daripada yang lain. Bahkan mungkin hanya satu di dunia! Bagi peminat bangunan sipil jembatan mestinya jembatan ini menarik untuk kajian. Keunikan pertama adalah tiang penyangga yang berupa beton cor-coran berbentuk seperti tangga tegak. Keunikan kedua, adanya jembatan kayu di bawah beton yang menyangga lintasan rel KA, yang digunakan untuk lewat orang, terbuat dari kayu. Ketiga, adanya dua tiang yang menempel satu sama lain, berjarak sekitar 20 cm (dari atas ke bawah), yang disebut penduduk sekitar sebagai ’saka pengantin’ (mungkin karena berdiri berjajar).
Jembatan ini dinamakan Jembatan Kali Belang, merujuk pada nama sungai kecil yang dilewati yaitu Kali Belang. Masyarakat sekitar menyebutnya brug kali Belang. Berada pada Km 3 dari Stasiun Bumiayu arah stasiun Linggapura/Prupuk, tepatnya di Desa Galuhtimur, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, jembatan ini merupakan salah satu jembatan monumental peninggalan Belanda.
Jumlah tiang 24, dimana tiang ke-12 dan ke-13 berjejer tidak menempel dengan jarak sekitar 20 cm. Jadi secara struktur beton, jembatan ini tidak ”nyambung”. Mungkin karena jaraknya yang panjang hingga lebih dari 100 meter, sehingga untuk menghindari risiko guncangan dan tekanan angin, juga gempa, jembatan ini dibuat ’terpisah’. Yang ”menyambung” jembatan ini adalah rel KA.
Jembatan kayu
Mengapa ada jembatan kayu di bawahnya? Jembatan kayu yang digunakan untuk mowot (menyeberang) penduduk sekitar kalau hendak pergi ke ladang atau berkunjung ke dusun lain ini dibangun belakangan (ada yang mengatakan tahun 1927).
Pemerintah kolonial Belanda merasa perlu membangun powotan ini karena kalau ada orang menyeberang melalui lintasan KA tentu berisiko, sekalipun ada dam (pos) pemberhentian untuk orang yang lewat di atas rel.
Sampai sekarang powotan yang terbuat dari kayu ini masih difungsikan, hanya saja ada beberapa bagian pegangan yang sudah keropos.
Menilik kokohnya bangunan hingga saat ini, bisa dipastikan pembangunan ini memerlukan perencanaan yang sangat serius, pemilihan bahan prima, dan akhirnya menjadi salah satu karya bangunan sipil berkualitas era penjajahan yang bisa disaksikan hingga saat ini.
Lantas mengapa mengapa jembatan yang dibangun saat Indonesia sudah merdeka banyak yang gampang runtuh atau putus? Wallahu’alam …. (banyumasnews.com/phd)
Mengapa ada jembatan kayu di bawahnya? Jembatan kayu yang digunakan untuk mowot (menyeberang) penduduk sekitar kalau hendak pergi ke ladang atau berkunjung ke dusun lain ini dibangun belakangan (ada yang mengatakan tahun 1927).
Pemerintah kolonial Belanda merasa perlu membangun powotan ini karena kalau ada orang menyeberang melalui lintasan KA tentu berisiko, sekalipun ada dam (pos) pemberhentian untuk orang yang lewat di atas rel.
Sampai sekarang powotan yang terbuat dari kayu ini masih difungsikan, hanya saja ada beberapa bagian pegangan yang sudah keropos.
Menilik kokohnya bangunan hingga saat ini, bisa dipastikan pembangunan ini memerlukan perencanaan yang sangat serius, pemilihan bahan prima, dan akhirnya menjadi salah satu karya bangunan sipil berkualitas era penjajahan yang bisa disaksikan hingga saat ini.
Lantas mengapa mengapa jembatan yang dibangun saat Indonesia sudah merdeka banyak yang gampang runtuh atau putus? Wallahu’alam …. (banyumasnews.com/phd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar