Jembatan Renville Panjer – Kebumen dan Pelurusan Prasastinya
May 26th, 2013 |
By Ravie Ananda |
Category: Sejarah
Tank Belanda sedang melewati jembatan Renville menuju kota Kebumen yang telah kosong pada 19 Desember 1948
Jembatan Renville adalah jembatan kereta api yang terletak di
daerah Panjer – Kebumen yang melintas di atas sungai Luk Ula. Jembatan
ini disebut jembatan Renville oleh para pejuang kemerdekaan untuk
mengabadikan peristiwa perundingan Renville.
Peristiwa pelanggaran Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 yang secara
terang – terangan terhadap persetujuan Linggarjati dengan melancarkan
ekspansinya hingga ke Gombong mengakibatkan TNI mengadakan perlawanan
dengan tetap mematuhi perintah Gencatan Senjata. Pihak Belanda yang pada
awalnya mengambil batas wilayah di timur Kali Kemit (tepatnya di lokasi
yang kini menjadi Monumen Kemit) akhirnya bersedia memundurkan garis
setelah diadakannya perundingan dengan Pihak RI yang di tengahi oleh KTN
dan diambillah kesepakatan bahwa Kali Kemit sebagai garis
demarkasi/status Quo.
Pada tanggal 27 Agustus 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) dibentuk oleh
PBB. Kemudian diadakan perundingan antara RI dengan Belanda di atas
Kapal Renville yang menghasilkan
Persetujuan Renville
pada 17 Januari 1948. Sebagai tindak lanjut dari perjanjian tersebut
maka oleh KTN (Komisi Tiga Negara) setelah melakukan perundingan yang
dipimpin Panglima Divisi III Kolonel Bambang Soegeng dengan dihadiri
antara lain: Letkol Koen Kamdani Komandan Resimen XX selaku Komandan COP
PDKS Kebumen, Mayor Rahmat, Mayor Panoedjoe, Kapten Soebiyandono,
Kapten H. Soegondo, Letnan Soeyono, Residen Banyumas, Bupati
Banjarnegara, Bupati Kebumen, Kepala Polisi Gombong, dan Kepala Polisi
Kebumen,
Kali Kemit ditetapkan sebagai Garis Demarkasi/Status Quo.
Artinya, aliran Kali Kemit baik ke utara maupun selatan dijadikan batas
terluar bagian barat dari Negara Indonesia. Pasukan-Pasukan TNI dan
seluruh Pejabat Pemerintahan RI yang berada di kantong-kantong (dimaksud
daerah yang diduduki Belanda) harus ditarik keluar. Dengan demikian
Kemit merupakan pintu keluar bagi para pejabat dan pasukan TNI Siliwangi
dari Jawa Barat yang akan hijrah ke Jawa Tengah. Pasukan Siliwangi dan
para pejabat tersebut diangkut menggunakan kereta api oleh Belanda, lalu
diturunkan di stasiun Gombong. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke
Karanganyar
dan diangkut menggunakan kereta api RI menuju Yogyakarta. Untuk
memperlancar pelaksanan hijrah, Local Joint Commite (LJC) dibentuk
dengan mendirikan pos di Panjatan (Karanganyar), dijabat oleh Kapten
Musa yang ditugaskan MBT. Selain itu, dibukalah
Jembatan Renville di desa Panjer
– Kebumen oleh Zeni atas order COP Kebumen dan komunikasi telepon oleh
satuan PHB pimpinan Kopral R. Soehadi. Di Pihak RI, Garis Demarkasi
dijaga oleh
tujuh anggota PK (Polisi Keamanan) yang berasal dari CPM yang menggunakan rumah Bapak Prawiro Soemarto sebagai Pos PK RI.
Situasi Dalam Negeri
Persetujuan Renville yang telah ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948 ternyata masih belum dapat menyelesaikan persengketaan
antara pihak RI dengan Kerajaan Belanda.
Situasi Umum di Kebumen
Menjelang Pemberontakan PKI, situasi politik memprihatinkan. Di
Kabupaten Kebumen tersebar berita bahwa di alun – alun Kebumen akan
diadakan rapat akbar golongan kiri dengan pembicara Muso PKI. Saat itu,
Kompi III Bimo Batalyon Mobil Sroehardoyo mengadakan pertahanan di desa
Plarangan Karanganyar untuk menghadapi Belanda yang bermarkas di benteng
Gombong. Pagi hari menjelang pelaksanaan rapat, rakyat
berbondong-bondong menghadiri rapat tersebut. Mereka membawa senjata
tajam seperti: arit, bendo, alu tumbuk padi, tombak, dan kudi dalam
kora-kora yang disandang melingkari perutnya. Untunglah ada berita bahwa
rapat akbar batal, sehingga keadaan aman dan tidak ada bentrok apapun,
mengingat keadaan sedang gawat-gawatnya menghadapi Belanda.
Pengamanan Tokoh – tokoh PKI di Kebumen
Ketika terjadi peristiwa Madiun, Batalyon Teritorial Kedu IV
Purworejo segera mengadakan rapat Tritunggal merumuskan langkah yang
perlu diambil dalam mengamankan wilayahnya. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Tritunggal di Kabupaten Kebumen. Langkah – langkah yang segera
diambil adalah:
- Menangkap dan mengamankan tokoh – tokoh PKI serta simpatisannya yang tinggal di desa – desa.
- Mengadakan pemisahan, yang berkaliber berat dikirim ke
Yogyakarta/Magelang, yang sedang diamankan di kabupaten (Batalyon
Teritorial Kedu IV untuk Purworejo, dan Batalyon Teritorial Kedu V untuk
Kebumen).
- Dalam rangka pengamanan dilakukan pembinaan yang
dipertanggungjawabkan pada kedua Batalyon Teritorial. Di Kebumen
bertempat di bekas asrama TNI Batalyon 64 (Sarinabati), selatan jalan
kereta (Kompleks Kepatihan/MAN II Kebumen dan Pabrik Gula/Gedung
Gembira), dan di LP Kebumen.
Agresi Militer Belanda II
Persetujuan Renville yang telah disepakati ternyata dilanggar pula
oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 06.00 Wib Belanda
telah memulai serangannya di atas ibukota Yogyakarta sembari menunggu
bala tentara Belanda dan angkatan perangnya yang sedang dalam perjalanan
dari Gombong menuju Yogyakarta. Pada hari Minggu pagi – pagi benar
pukul 05.30 Wib tanggal 19 Desember 1948 Komandan Kompi III Batalyon III
Brigade X (Batalyon Sroehardoyo) yang berkedudukan di Nampudadi dan
Kepala Staf Kompi III Serma Koedoes mendengar ledakan Granat dari arah
Kemit. Suara yang sama terdengar pula oleh Kapten Soemrahadi pimpinan
sementara Kompi III karena Komandan Kompi III Kapten Radjiman sedang ke
Purworejo untuk menengok keluarganya yang sakit. Ledakan granat itu
tidak diragukan lagi setelah adanya laporan dari Kopral Soeroyo anggota
regu Combat pimpinan Serma Soekidi yang bertugas di dalam kota Gombong
bahwa ledakan tersebut merupakan isyarat bahwa Belanda melaksanakan
rencananya “door stoot naar Jogja“. Hal itu menjadi lebih meyakinkan
dengan adanya siaran RRI Yogyakarta secara berulang – ulang. Batalyon
Sroehardoyo dan pasukan – pasukan lain yang bertugas di pos – pos
pertahanan garis demarkasi Kemit segera melakukan pergeseran pasukan
untuk menempati posnya yang baru yang telah ditentukan sebelumnya.
Batalyon Mobil Soehardoyo mendapat tugas dan tanggung jawab pertahanan
wilayah kabupaten Purworejo dan Batalyon Mobil Soedarmo di wilayah
Kabupaten Kebumen.
Batalyon Mobil II Mayor Soedarmo menempatkan Markas batalyon Kompi
Markasnya (Rahwana) di Wadas Malang kecamatan Krakal, berikut dengan
Kepala Staf Kapten Iskandar, Kompi I Werkudoro Kapten Soemantoro, Kompi I
Gatotkoco Kapten Soegiono, Kompi III Antasena Letnan I Moeklis dan
Kompi Bantuan Anoman Letnan I Tjiptono, pada dasarnya selalu berpindah –
pindah. Namun sesekali secara bergantian pasukan beristirahat di rumah
Glondong Rustam desa Karang Jambu, berdekatan dengan Komando Batalyon.
Batalyon Teritorial Kedu IV Purworejo dan Batalyon Teritorial Kedu V
Kebumen telah menyusun dan menempatkan kompinya, hingga dengan cepat
sambil berjalan KODM – KODM dapat dibentuk di tiap kecamatan dengan
personil yang ada pada kecamatan tersebut.
Instansi pemerintahan sipil, dinas dan jawatan serta sekolah –
sekolah, jauh sebelumnya telah mempersiapkan diri kemungkinan terjadinya
Agresi II.
Gugurnya Tujuh Orang Polisi Keamanan (PK) RI
Tujuh orang anggota Polisi keamanan (PK) yang terdiri dari CPM
penjaga garis demarkasi Kemit gugur pada tanggal 19 Desember 1948
pada
pukul 05.00 saat Belanda memulai aksi militernya (Agresi Militer II)
dengan terlebih dahulu menghabisi mereka yang menghuni rumah Bapak
Prawiro Sumarto, timur pasar Kemit sebagai Pos PK pihak RI.
Gagalnya Trekbom Jembatan Renville Panjer
Satu – satunya akses jalan yang bisa dilalui angkatan perang Belanda
menuju ke Yogyakarta adalah melalui Jembatan Renville Panjer sebab
jembatan resmi Tembana berhasil dihancurkan oleh pejuang RI. Jembatan
Renville sendiri adalah jembatan kereta api di sungai Luk Ula Kebumen
yang secara darurat digunakan sebagai akses penghubung dengan cara
menumpuk balok – balok kayu di atas rel agar bisa dilalui kendaraan.
Pada pukul 06.00 Wib Belanda masuk dari arah barat ke kota Kebumen
bagian selatan dengan kereta api berbendera Merah Putih sehingga tidak
disangka bahwa didalamnya adalah pasukan Belanda. Selanjutnya melalui
jalan yang sama (Jembatan Kereta Api Renville) di belakang kereta api
berbendera Merah Putih tersebut adalah konvoi Tank – tank Belanda.
Kapten Gunung yang telah siaga menggunakan Panser Wagen segera
menginstruksikan semua warga untuk mengungsi. Warga segera mencari
selamat ke arah selatan, timur, dan utara kota Kebumen. Di bagian utara
melalui jembatan Tembana konvoi jeep, panser wagen, dan tank sebanyak
kurang lebih 50 buah menggunakan lambang – lambang KTN, yang merupakan
Stoot Troop terjebak karena jembatan tersebut telah berhasil di trekbom.
Banyak tank dan kendaraan lainnya berbalik dan mengambil akses jalan
melalui jembatan Renville. Meski demikian, selanjutnya Belanda tetap
memanfaatkan jembatan Tembana untuk akses menuju Yogyakarta dengan
membangun jembatan darurat di atasnya.
Pada saat Belanda masuk kota, di dalam kota telah kosong. TNI dibagi
dua yakni sektor Utara dan Sektor Selatan. Di selatan kota terdapat
Mayor Rahmat, Kapten Toegiran, Letnan I Soediro, dan Letnan II Iskandar.
Namun setelah mengetahui kekuatan Belanda yang besar, ketiga perwira
tersebut tidak terlihat lagi. Sedangkan Letnan II Iskandar tertangkap di
Jembatan Renville saat melaksanakan Trekbom. Ia lalu dibawa dengan
kendaraan jeep ke berbagai sudut kota Kebumen sehingga banyak anggota
TNI dan masyarakat yang melihatnya. Salah seorang yang melihatnya
langsung adalah Letnan I Soeparman Clapar (kawan lama Letnan II D.S.
Iskandar) yang semula bermaksud menumpang jeep nya yang melintas di
jalan Stasiun (kini jalan Pemuda), sebelum mengetahui bahwa Letnan
Iskandar duduk di samping serdadu Belanda. Setelah mengetahui keadaan,
Letnan I Soeparman segera ke rumah untuk cepat – cepat memindahkan
keluarganya ke Clapar. Letnan II Iskandar dibawa ke stasiun dan diangkut
ke Purworejo. Setelah tiga hari di tangsi Kedung Kebo, diangkut ke
Gombong dan terus ke Purwokerto pada tanggal 25 Desember 1948 di Brigade
V. Setelah 17 hari ditawan di Bigade V, dengan kecerdikannya Letnan II
Iskandar meloloskan diri melalui RSU Puwokerto dan melapor ke induk
pasukannya (berada di gunung Sumbing).
Sasaran pertama pasukan Belanda pada waktu masuk ke kota Kebumen pada
tanggal 19 Desember 1948 adalah Pabrik Mexolie/ Sari Nabati. Soewarno
(pimpinan pemuda karyawan pabrik tersebut) dan dua anggota CA II
Angkatan Laut serta dua karyawan pabrik yang sedang melakukan bumi
hangus di pabrik tersebut tertangkap basah oleh Belanda yang begitu
cepat menduduki Nabati. Soewarno dibawa ke stasiun, sedangkan empat
lainnya setelah diperiksa di lapangan tenis Panjer (di utara stasiun)
kemudian ditembak mati di sana.
Soewarno dibawa dengan Panser Wagon ke Purworejo. Sepanjang perjalanan ia mengalami beberapa peristiwa :
1. Di Kepedek Kutowinangun
Di desa Kepedek sebelah timur Kutowinangun terdapat puing bekas
pabrik padi (kini dipakai untuk KUD). Lima anggota AOI bersenjata
kareben polisi menghadang konvoi Belanda yang membawa Soewarno dengan
tembakan. Belanda membalas serangan, tiga AOI gugur dan dua lainnya
menghindar ke timur. Tapi sebelum sampai di tepi kampung, mereka
tertembak oleh senjata metraliur 12.7 Belanda dan gugur.
2. Di Jembatan Butuh
100 meter sebelum Jembatan kali Butuh, terlihat seorang berlari dari
kolong jembatan ke selatan melalui tanggul sungai. Belanda menembaknya
dengan mitraliur 12.7 mm dan tepat mengenai sasaran. Korban adalah
seorang Kopral dari Kompi Soedarsono Bismo yang ditugaskan menarik
trekbom untuk memutuskan jembatan. Pemasangan trekbom dipimpin oleh
Letnan II Soeparman Djliteng, Komandan Seksi I.
Soewarno diperintah NICA untuk memeriksa kolong jembatan tersebut,
diikuti 10 serdadu Belanda. Di sana ada sebuah trekbom seberat 150 kg
yang siap diledakkan dari jauh dengan seutas kawat. Namun karena
tergesa-gesa kawat yang diikat ke detonator belum dibuka. Trekbom
tersebut diangkut Belanda ke Purworejo.
3. Di Kota Purworejo
Sekitar pukul 17.30 Wib panser wagon yang menawan Soewarno masuk kota
Purworejo dan langsung menuju jembatan kali Bogowonto di Cangkrep
(Purworejo Timur).
4. Di Gedung Timur Alun – Alun Purworejo
Pada pukul 20.00 Wib Soewarno dengan jeep dibawa masuk ke sebuah
gedung di timur alun – alun Purworejo (kini Markas CPM) untuk diperiksa
Polisi Militer Belanda. Tengah malam ia mendengar bahwa esok pagi ia
akan ditembak mati.
Pukul 01.30 Wib di belakang gedung tempat Soewarno ditahan, terdengar
ledakan granat. Serdadu NICA menjadi panik. Dalam kesempatan demikian,
Soewarno meloloskan diri melalui saluran got yang sampai di kali sebelah
timur RSU Purworejo. Selanjutnya ia ke selatan sampai di Banyuurip dan
ke barat sampai di Panjer dengan selamat pada pukul 18.00 Wib pada
tanggal 20 Desember 1948.
Heru Subagyo, pejuang yang baru pulang dari Jawa Timur memutuskan
untuk tidak mengungsi. Semasa kependudukan Jepang ia masuk pendidikan
Heiho di Batavia dan kemudian ditempatkan di Jawa Timur. Pasca bubarnya
Heiho ia menggabungkan diri dengan para pejuang lainnya di Jawa Timur.
Beberapa hari menjelang Agresi Militer Belanda II, Heru pulang ke
Kebumen karena mendapat berita bahwa ayahnya yang juga kawan pergerakan
Soekarno (di tahun 1930 an) ditahan Belanda di Cilacap. Ia dan keluarga
bertahan dengan makanan seadanya berupa pisang dan singkong yang ia
simpan di dalam rumahnya yang berada di jalan Garuda (masuk ke selatan).
Pada awalnya keberadaan Heru tidak diketahui Belanda sehingga ia dapat
melihat keadaan kota Kebumen dari bilik – bilik WC/Kakus yang ada di
tepian saluran air (kini trotoar jalan pemuda sebelah timur). Hotel
Pusaka Panjer digunakan Belanda sebagai markas
KL (Koninklijk Landmacht), Perumahan Mess dan
Pabrik Mexolie/Sarinabati dijadikan Asrama KL sedangkan Gedung Bunder (kini depan Hotel Putra) digunakan untuk markas
KNIL (Koninklijk Nederlansch Indisch Leger).
Pemuda – pemuda Kebumen yang tertangkap Belanda saat mengadakan patroli
dibawa ke markas KNIL di Gedung Bunder, selanjutnya mereka dibawa ke
KL. Setelah dari KL mereka disuruh lari menuju jembatan Tembana diikuti
tentara Belanda bernama Mahani yang menggunakan sepeda dan membawa
senjata. Setelah sampai di Tembana mereka pun dieksekusi.
Berbeda dengan tawanan kota Kebumen, tawanan yang tertangkap Belanda
dari daerah lain saat patroli hingga ke pelosok seperti Sruni,
Petanahan, dsb, baik itu TNI, Laskar pejuang ataupun warga yang
dicurigai sebagai mata – mata, semua dibawa ke Pabrik Mexolie/Sarinabati
dan kemudian di eksekusi di tempat tersebut. Adapula yang kemudian
digiring ke Jembatan Renville dan kemudian dieksekusi di sana sehingga
banyak didapati mayat yang mengambang di muara sungai Luk Ula. Mahani
adalah eksekutor ternama di Kebumen, layaknya Berlin di Kemit.
Lambat laun Belanda pun mengatahui keberadaan rumah yang masih
berpenghuni itu. Heru Subagyo digiring Belanda ke markas KNIL. Di sana
dia tidak sendiri. Ada dua pemuda lain yang dicurigai sebagai mata –
mata telah ditangkap. Setelah diinterogasi keduanya pun segera dibawa ke
markas KL (di Hotel Pusaka) dan kemudian dieksekusi oleh Mahani di
jembatan Tembana. Keajaiban Tuhan dialami Heru. Dia yang akan dikirim ke
KL tiba – tiba dilarang oleh Komandan KNIL sebagai pimpinan di Gendung
Bunder. Ternyata ketika melihat Heru sang Komandan teringat akan anaknya
di Belanda yang usianya sebaya. Heru kemudian dimasukkan kembali ke
Gedung Bunder dan disuruh memanggil seluruh keluarganya di rumah.
Keempat adiknya yang masih kecil pun berjajar bersama Heru. Akhirnya
Heru diantar pulang oleh Komandan KNIL dan diperlakukan sebagaimana
anaknya sendiri. Bahkan sering kali Komandan KNIL tersebut mengantar
makanan sendiri untuk Heru dan keluarganya.
Jaminan keamanan menjadikan Heru lebih leluasa mengamati peristiwa
pertempuran di Kebumen. Salah satunya adalah penyerangan markas KNIL di
Gedung Bunder oleh Pejuang dari berbagai Laskar antara lain Moh. Dimyati
(Hisbullah; mantan pegawai SMPN 5 Kebumen) yang bersama anggotanya
melakukan penyerangan jarak dekat dari Balai Desa Kebumen yang kemudian
mereka bumi hanguskan. Luka tembak Dimyati karena penyerangan itu
dibawanya hingga tua.
Penyerahan Kekuasan dari Pihak Belanda kepada Pihak RI di Kebumen
Keberhasilan SU 1 Maret 1949 dilanjutkan dengan langkah diplomasi
pada tanggal 23 Agustus 1949 dengan diadakannya Konfrensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag untuk membicarakan masalah Penyerahan Kekuasaan
Balanda kepada Indonesia. Dengan pertimbangan yang cukup bijaksana dan
matang, akhirnya pemerintah RI menerima Naskah Persetujuan KMB yang
sebetulnya sangat merugikan, dimana di dalamnya dinyatakan adanya negara
RIS, APRIS, dan masalah Irian Barat yang penyelesaiannya secara
menyeluruh baru akan dibicarakan di kemudian hari. Hari penyerahan
kekuasaan dari Belanda kepada RIS ditetapkan pada tanggal 27 Desember
1949.
Di Gombong
Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan
Cilacap-Yogyakarta-Sempor pada tanggal 17 Oktober 1949. Pihak Belanda
diwakili antara lain oleh:
- Letkol Beets (Komandan Garnizoen Gombong)
- Letnan I Joepen (Ajudan Komandan)
- R. Soepardo (Wedana NICA)
- Achmad (Asisten Wedana NICA)
- Sapari (Juru Tulis Kawedanan NICA)
Pihak RI diwakili oleh:
- Kapten Soegiono (Komandan Kompi Batalyon Pendawa)
- Letnan II Purwosasmito
- Letnan Muda Soemarto
- Serma Achmad Baseri
- Sersan Oentoeng Soetomo
- Sersan Agoes
Di Kebumen
Upacara penyerahan kekuasaan dilangsungkan di persimpangan jalan
Karanganyar-Yogyakarta-Karangsambung (Mertakanda) pada tanggal 17
Oktober 1949. Pihak RI diwakili oleh Letnan I Moeklis (Komandan Kompi
Batalyon Pendawa) sedangkan pihak Belanda diwakili oleh Komandan KL
setempat.
Sementara itu, Komandan Brigade IX/WK II Kedu Letnan Kolonel Achmad
Yani mengadakan inspeksi di Kedu Selatan, bersama tiga orang perwira KTN
masing-masing dari Amerika, Belgia, dan Australia untuk menyaksikan
acara serah terima tersebut di Pituruh, Kutoarjo, dan Purworejo.
Upacara serah terima secara resmi untuk wilayah Jawa Tengah
dilangsungkan di kota Semarang pada tanggal 27 Desember 1949. Pihak RI
diwakili oleh Kolonel Gatot Soebroto Panglima Divisi III/Diponegoro
merangkap Gubernur Militer Jawa Tengah. Sedangkan pihak Belanda diwakili
oleh Jenderal Mollinger Panglima Divisi KL untuk Jawa Tengah.
Tugu dan Jalan Renville serta Perlunya Pelurusan Sejarah
Untuk memperingati peristiwa Agresi Militer Belanda II tersebut, di
timur Jembatan Renville dibangun tugu Renville dan jalan dari barat
jembatan kereta api hingga di samping Gereja Panjer dinamakan Jalan
Renville. Tugu itu awalnya bertuliskan Huruf Jawa dan Huruf Latin dengan
bunyi yang sama “DI SINI AKU MATI UNTUK IBU PERTIWI, HARAPANKU
BERBAHAGIALAH NUSA BANGSAKU” Satu hal yang sangat disayangkan adalah
adanya pengubahan dan kesalahan prasasti pasca renovasi tugu. Dimana
tulisan di atas tersebut dihilangkan dan diganti dengan “BUMI HANGUS DAN
PENGHANCURAN VITAL OLEH PEJUANG KEMERDEKAAN SEBAGAI JAWABAN
PENGKHIANATAN PERJANJIAN RENVIL TH 1947 OLEH BELANDA” Ada beberapa
kesalahan dalam tulisan tersebut yakni “RENVILLE” yang ditulis “RENVIL”
dan tahun 1947, karena perjanjian Renville diadakan pada tahun 1948.
Jalan Renville pun diubah menjadi jalan Es Bening dan kemudian berubah
lagi menjadi jalan Gereja hingga kini. Sangat diperlukan tindakan segera
dari pihak – pihak yang mempunyai wewenang untuk memperbaiki/meluruskan
dan mengembalikan tulisan prasasti serta nama jalan agar generasi
penerus tidak terlanjur menjadi salah dalam memahami sejarah bangsa.
Salam Pancasila.!
Oleh : Ravie Ananda
Kebumen, Minggu Kliwon 26 mei 2013
Sumber:
– Gelegar di Bagelen
– Perang Kemerdekaan Kebumen Tahun 1942 – 1950; Depdikbud Dirjen
kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta 1986
– Wawancara dengan saksi sejarah Heru Subagyo (Kepala Bagian Produksi Mexolie/Sarinabati masa kemerdekaan), Panjer 23 Mei 2013